Selasa, 13 November 2012

MACAM-MACAM METODE PENELITIAN

Nama : Dedy Hermanto
Nim   : F1A010205
    1. Penelitian Survey
     -Contoh Judul
     -EKSPLORASI JENIS-JENIS PALEM DI PULAU NUMFOR KABUPATEN BIAK    NUMFOR FAHUTAN UNIPA, 2002. 28 CM PALEM – EKSPLORASI Oleh: BANJARNAHOR, Jonnar
    -Demographic survey research in Irian Jaya: Population dynamics in the Teminabuan area of the Bird’s Head Peninsula of Irian Jaya, Indonesia (Penelitian survei demtograft di Irian Jaya. Dinamika penduduk Teminabuan, Semenanjung Doberai, Irian jaya, Indonesia).
      2. Penelitian Ex Post Facto
.      -Contoh Judul
-PENGARUH KEPUASAN KERJA, KETERLIBATAN KERJA, STRES KERJA, DAN KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP KESIAPAN UNTUK BERUBAH PADA KARYAWAN PT BANK Y Oleh: Ciliana, Psikologi
- Pengaruh Kecemasan Mahasiswa pada Waktu Mengerjakan Ujian Terhadap Hasil Ujian Mereka.
      3. Penelitian Experiment
        -Contoh Judul 
  -PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION UNTUKMENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK) (Suatu Studi Kuasi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas VIII MTs N Arjawinangun, Cirebon) Oleh: Ricca Safrotun
-Pengaruh Lendir Bekicot (Achetina Fullica) terhadap Pertumbuhan Bakteri gram negative
(Psedomonas Aeruginesa).


       4. Penelitian Naturalistik
.     -Contoh Judul
   -PEMBELAJARAN DENGAN MENGINTEGRASIKAN NILAI-NILAI KEIMANAN DAN KETAQWAAN (IMTAQ) DALAM MATA PELAJARAN IPA BAGI SISWA SEKOLAH DASAR Penelitian Naturalistik pada Sekolah Dasar Assalam II Bandung Oleh: Achmad Ghozin
 - STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BAGI GURU KELAS VII DI KABUPATEN KONAWE SELATAN Oleh: Basir Sarulah.
       5. Penelitian Kebijakan (Policy Research)
      - Contoh Judul
-EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI DI KABUPATEN KARAWANG Oleh : Syahrudin, FISIP UI., 2009.
-POTENSI DAN BIAYA PEMUNGUTAN LIMBAH PENEBANGAN KAYU MANGIUM SEBAGAI BAHAN BAKU SERPIH (Potency and Harvesting Cost of Wastes from Mangium-Stand Felling as Raw Material for Wood Chip) Oleh/By: Sukadaryati, Dulsalam & Osly Rachman.

   6. Penelitian Tindakan (Action Research)
       -Contoh Judul
-PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PERILAKU DALAM BAHASA INDONESIA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA ANAK TUNAGRAHITA Penelitian Tindakan di SPLB Bagian C Bandung Oleh: Maman Abdurahman SR         
 -Memecahkan Masalah Apatisme dalam Penggunaan Teknologi Modern atau  Menanam Padi yang Inovatif
      7. Penelitian evaluasi (Evaluation Research)
         -Contoh Judul
-PENGARUH KONSENTRASI ASAM CUKA TERHADAP SPORULASI Beauveria Bassiana (BALS) VUIL STRAIN-WAMENA PADA MEDIUM BERAS PERA SEBAGAI AGEN HAYATI oleh : Rini Patandungan.
       -EVALUASI KETERPAKAIAN KOLEKSI BUKU BERDASARKAN DATA    STATISTIK SIRKULASI DI UPTD PERPUSTAKAAN DINAS PENDIDIKAN KOTA MAGELANG.
         8. Penelitian Sejarah (History Research)
              -Contoh Judul
-Tari Bali: Sebuah Telaah Histori (Bali Dance : A Historical Research Oleh : V. Eny Iryanti
 -Perjuangan di Daerah Kebumen pada Masa Revolusi Fisik, kayra ilmiah yang ditulis oleh Muhammad Saludin, Susmanto, Ambiya Nurdiyanto dan Eti Baryanti, pemenang II LPIR tahun 1992.

Jumat, 02 November 2012

Kekhawatiran mengenai REDD kian mendalam



Indonesia terus mendesak maju dengan rencananya mengenai REDD, Bank Dunia dan pihak-pihak lain membuat perjanjian yang tidak dipersiapkan dengan baik mengenai pendanaan proyek di Indonesia. Bahkan Bank Dunia tampaknya tak menghiraukan kebijakannya sendiri tentang pengadaan konsultasi dengan masyarakat penghuni hutan dan perlindungan bagi kepentingan mereka. Bank Dunia menempatkan dirinya menjadi salah satu penyandang dana utama REDD (Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara-Negara Berkembang), melalui Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) dan Program Investasi Hutan (FIP). Indonesia menyerahkan Rancangan 'Proposal Perencanaan Kesiapan' (R-PP) kepada FCPF pada bulan Mei, yang segera mengundang badai kecaman dari organisasi masyarakat madani di dalam maupun di luar negeri serta seruan untuk menunda persetujuan atas rencana itu hingga kelemahannya yang menonjol diperbaiki. Ini mencakup:
  • Kurangnya konsultasi dengan pemangku kepentingan utama, seperti masyarakat adat, kurangnya akses akan informasi, termasuk hampir tak adanya informasi dalam bahasa Indonesia;
  • Kegagalan untuk membahas tentang kerangka kerja hukum nasional yang kurang memadai dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan kegagalan untuk mengemukakan perihal hak-hak ini dalam R-PP itu sendiri;
  • Kurangnya perhatian atas isu tata kelolanya , dan potensi korupsi dalam pelaksanaan proyek REDD, khususnya karena kurangnya kejelasan seputar status 'forest land' yang diklaim oleh negara, dan klaim peruntukan lahan yang tumpang tindih dari sektor lain seperti perkebunan dan pertambangan;
  • Konsentrasi 'kepemilikan' REDD dalam departemen kehutanan, yang mengarah pada risiko bahwa legislasi yang bertentangan, mengenai perkebunan dan lahan gambut misalnya, akan terus mendorong deforestasi.
LSM di Indonesia, Inggris, A.S. dan Norwegia juga telah menulis kepada pemerintah mereka, menyerukan perbaikan dalam proses persetujuan FCPF sebelum R-PP Indonesia diloloskan. Mereka menyoroti kekhawatiran termasuk kecenderungan untuk membuat keputusan tanpa referensi standar perlindungan Bank Dunia dan standar internasional, meskipun terdapat kebutuhan agar hal ini dijabarkan dalam Piagam FCPF. Misalnya, piagam ini mensyaratkan bahwa kegiatan itu, termasuk R-PPP
"mematuhi Kebijakan dan Prosedur Operasional Bank Dunia, mengingat kebutuhan akan partisipasi efektif Masyarakat Adat yang Tergantung pada Hutan dan Para Penghuni Hutan dalam keputusan yang dapat memengaruhi mereka, menghormati hak-hak mereka sesuai dengan undang-undang nasional dan kewajiban internasional yang dapat diterapkan." (Prinsip 3.1(d), Piagam FCPF).
Perlindungan utama Bank Dunia untuk REDD adalah OP4.10 mengenai Masyarakat Adat, OP4.36 mengenai Hutan dan OP4.12 mengenai Pemukiman Kembali Tidak dengan Suka Rela. Kewajiban Internasional yang Relevan termasuk Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat, juga instrumen internasional lainnya mengenai HAM dan lingkungan hidup. R-PP Indonesia dipertimbangkan oleh Komite Peserta FCPF, tetapi keputusan untuk menerima atau tidak proposal itu ditunda hingga bulan Juli. Menerimanya berarti memberi Indonesia akses akan USD3,6 juta dalam pendanaan FCPF menuju kegiatan 'kesiapan'. Pertemuan Komite Peserta berikutnya akan berlangsung pada bulan Oktober dan LSM-LSM telah menyerukan agar setiap keputusan mengenai R-PP Indonesia ditunda paling tidak hingga berlangsungnya pertemuan itu. Mereka berargumentasi bahwa penentuan standar yang rendah bagi persetujuan akan rencana awal yang tengah dipertimbangkan (termasuk rencana Indonesia) akan memberi pertanda bagi negara lain bahwa mereka akan dapat menyerahkan Rencana Kesiapan yang di bawah standar pada masa mendatang. Tanpa perlindungan yang memadai bagi penghuni hutan, sangat kecil kemungkinannya REDD akan dapat mencapai hasil yang positif dalam hal pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi, karena pengingkaran akan hak diakui secara luas sebagai penyebab utama deforestasi itu sendiri.                   Menurut saya kebijakan dan kegiatan pengelolaan hutan di Indonesia dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh hasil-hasil pertemuan internasional atau ide dari lembaga-lembaga donor, misalnya dikembangkannya sertifikasi hutan, perhutanan sosial, program kehutanan multipihak, konservasi hutan yang bernilai tinggi, pemberantasan illegal logging, sertifikasi legalitas kayu, serta pengurangan emisi gas rumah kaca dari pengurangan kegiatan deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Berbagai inisiatif tersebut seolah-olah telah menjadi arus utama pembangunan kehutanan selama ini. Ide-ide pembaruan lainnya, terutama yang digagas oleh pemerintah dan konstituen lokalnya, tidak pernah menjadi percaturan pembicaraan kehutanan secara nasional, misalnya pengembangan silvikultur intensif, hutan tanaman untuk rakyat, maupun pembangunan organisasi pengelolaan hutan (KPH) di tingkat tapak/lapangan. Termasuk gagasan mengenai penyelesaian masalah-masalah hak dan akses atas kawasan hutan negara, tidak pernah menjadi prioritas nyata dalam pembangunan kehutanan. Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa fakta kehutanan yang sama, difahami dengan cara yang berbeda-beda dan kemudian dicari masalah dan ditetapkan cara menyelesaikan masalahnya. Maka setiap orang atau lembaga memberi gagasan yang berbeda-beda atas masalah yang berbeda-beda pula. Kemudian mereka mengusung gagasannya itu melalui berbagai jaringan internasional dan nasional untuk mendapat legitimasi.                          
   Dengan lambatnya penyelesaian persoalan-persoalan kehutanan yang ditunjukkan oleh rendahnya pelaksanaan ide-ide di atas hingga saat ini kemungkinan yang terjadi bahwa program yang sudah tepat tidak mendapat sumberdaya cukup untuk dijalankan dan dikembangkan, sedangkan program yang tidak tepat mendapat dukungan secara memadai. Alasan lainnya, seluruh program di atas berupa potongan tertentu, sedangkan potongan lainnya tidak mendapat sentuhan apa-apa. Misalnya setelah unit usaha kehutanan, tidak juga ada program untuk memperbaiki kinerjanya, ketika diketahui perolehan nilainya buruk. Berdasarkan kenyataan seperti itu, memahami fakta kehutanan tidaklah semudah seperti yang diucapkan oleh banyak orang: baik para birokrat, pelaku ekonomi kehutanan, juga para akademisi dan LSM, termasuk ahli-ahli asing yang banyak berdatangan ke Indonesia. Pada umumnya kehutanan dibaca secara parsial kemudian dari situ dikenali sebab akibat yang kemudian menjadi dasar asumsi mengenai kehutanan, ditelusuri masalah yang kemungkinan itu hanya sebagai anggapan tentang masalah atau bukan masalah yang sebenarnya kemudian ditentukan program dan kegiatan untuk menyelesaikan masalah itu. Seperti menjawab pertanyaan yang keliru. Nampak berakhir pada suatu solusi bahwa ide itu tidak dapat memenuhi harapan untuk memperbaiki sistem kehutanan secara mendasar. Ia akan berguna pada konteks dan situasi tertentu, sebagaimana pelaksanaan sertifikasi unit usaha kehutanan, pemberantasan illegal logging dan lain-lain seperti disebutkan di atas.

Selasa, 15 Mei 2012


MAKALAH PENGELOLAAN MARGASATWA
( PENGAWETAN TUMBUHAN dan SATWA LIAR )


 







Oleh

                                                             DEDY HERMANTO
                                                                      F1A010205









FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2012


DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI...................................................................................................             i

I. PENDAHULUAN.......................................................................................             1
    1.1 LatarBelakang.........................................................................................             1
    1.2 Rumusan Masalah....................................................................................            2
II. PEMBAHASAN........................................................................................
2.1 Pengertian Pengawetan............................................................................            3
2.2  Beberapa jenis TSL yang sudah punah dan terancam punah......................            4
2.3  Beberapa jenis TSL tekanan pemanfaatan................................................            6
2.2  Lingkup Kegiatan Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar........................            6

     III. PENUTUP ...........................................................................................            9
Kesimpulan..............................................................................................           9
Daftar Pustaka………..............................................................................         10



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Keanekaragaman hayati sebagai spesies kehidupan di bumi, sangat penting untuk kelangsungan sistem jejaring kehidupan yang menyediakan kesehatan, kemakmuran, pangan, energi dan jasa yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Untuk menekan laju penurunan kualitas kehidupan, maka upaya konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) perlu dilakukan secara serius oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Melalui informasi catatan fosil, sejak permulaan kehidupan, disamping telah banyak berkembang spesies, juga banyak spesies yang punah. Sekarang ini, spesies menjadi punah dengan laju yang lebih tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah geologi. Manusia berkontribusi besar dalam kepunahan ini. Pada masa geologi yang lalu, spesies yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang berkembang mengisi celah atau ruang yang ditinggalkan. Pada saat sekarang, penggantian ini tidak akan mungkin terjadi karena banyak habitat telah hilang.        
  Secara umum, kehilangan keanekaragaman hayati juga berarti bahwa spesies yang memiliki potensi ekonomi dan sosial hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat  yang terdapat pada spesies liar hilang untuk selamanya. Hutan hujan tropis yang memiliki kekayaan spesies yang mengandung bahan kimia dan obat-obatan yang berguna, telah terdegradasi. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan dengan kegiatan: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam konteks ini, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian konservasi sumberdaya alam hayati.                                                  
 Beberapa metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang secara umum dapat dikelompokkan dalam konservasi insitu, konservasi eksitu, restorasi dan rehabilitasi, pengelolaan lansekap terpadu, serta formulasi kebijakan dan kelembagaan. Konservasi insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut. Dalam implementasinya, pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi perlindungan sumberdaya di luar kawasan lindung. Di bidang kehutanan dan pertanian, pendekatan insitu juga digunakan untuk melindungi keanekaragaman genetik tanaman di habitat aslinya serta penetapan spesies dilindungi tanpa menspesifikasikan habitatnya.
1.2  Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yakni sebagai berikut :
a.       Pengertian pengawetan dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati?
b.      Tumbuhan dan Satwa Liar yang punah maupun terancam punah?
c.       Tujuan pengawetan jenis Tumbuhan dan Satwa Liar?
d.      Lingkup Kegiatan Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar?
e.       Cara yang digunakan dalam pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pengawetan
Pengawetan dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan sedemikian rupa dengan tujuan agar keanekaragaman hayati tidak punah atau musnah dari muka bumi. Karena sekali suatu jenis mahluk hidup punah maka tidak akan pernah bisa diciptakan kembali dan tergantikan oleh mahluk lainnya di bumi. Pengawetan juga dapat diartikan upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah. Dengan mengawetkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa, maka populasi jenis tumbuhan dan satwa dapat meningkat dan mencapai tingkat yang secara dinamik mantap. Karena suatu jenis tumbuhan maupun satwa merupakan bagian dan ekosistem, maka kemantapan populasi jenis tersebut dapat menjamin keseimbangan dan kemantapan ekosistem.                                                                                                  
 Untuk mencegah agar TSL (Tumbuhan dan satwa liar ) tidak punah dan pada suatu saat dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka TSL yang pepulasinya sangat jarang, langka, dan terancam oleh bahaya kepunahan , memperoleh perlindungan hukum dari negara (dilindungi Undang Undang No 5 tahun 1990 beserta Peraturan Pemerintah berikut turunannya) dan bahkan dilindungi secara internasional, antara lain melalui Konvensi Perdagangan Internasional Jenis-jenis TSL yang terancam (Convention on International Trade in Endangered species of wild fauna and flora disingkat CITES) dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity atau CBD).                                                                                                         
 Lebih dari 525 jenis TSL ditetapkan sebagai jenis-jenis yang berstatus dilindungi di Indonesia. Terhadap jenis yang dilindungi dilarang untuk dimanfaatkan. Kecuali hasil dari kegiatan penangkaran atau pengembangbiakan. Status perlindungan jenis TSL sewaktu-waktu bisa dicabut apabila kedaan populasi jenis TSL dimaksud sudah pulih kembali dan terhindar dari ancaman kepunahan. Mengapa TSL bisa punah? Kepunahan TSL  dapat terjadi akibat berbagai macam sebab. Misalnya bencana alam, perbuatan manusia (misalnya perburuan tanpa memperhatikan kaedah konservasi baik untuk kepentingan konsumsi maupun untuk diperdagangkan), rusaknya atau hilangnya habitat, ketidak mampuan TSL untuk berkembang biak, dsb. Tindakan konservasi yangg berkelanjutan  diperlukan guna mencegah agar jenis-jenis TSL tidak punah dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.  Selain itu, pembinaan habitat yang menjadi tempat tinggal dan kehidupan TSL juga memegang peranan penting. Karena kerusakan habitat dapat memicu percepatan kepunahan suatu jenis TSL. Pembinaan habitat dapat dilakukan dengan pengayaan jenis  pemulihan (restorasi), dan bahkan penjarangan. tergantung dari tujuannya.
2.2 Beberapa jenis TSL yang sudah punah dan terancam punah.
a.     Harimau Bali (Panthera tigris balica), endemik di Pulau Bali (Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya), sudah punah sejak tahun 1940-an akibat dari tekanan perburuan dan semakin menyempitnya habitat untuk berbagai kepentingan pembangunan;
b.    Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), endemik di Pulau jawa (Taman Nasional Meru Betiri dan sekitarnya), sudah dinyatakan punah sejak tahun 1980-an, akibat dari perburuan dan menyempitnya habitat untuk berbagai kepentingan pembangunan;
c.     Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), tergolong jenis yang terancam oleh kepunahan (endangered species), karena pupulasinya menurun secara tajam akibat dari tekanan perburuan secara illegal untuk perdagangan gelap dan semakin berkurangnya habitat untuk berbagai kepentingan pembangunan;
d.     Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), endemik di Jawa Barat (Taman Nasional Ujung Kulon dan sekitarnya) tergolong satwa liar yang sangat terancam. Perburuan illegal menjadi ancaman utama kelestarian satwa langka ini. Sepupunya di Sumatra yaitu Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) juga dalam keadaan terancam karena semakin berkurangnya habitat dan tekanan perburuan ilegal.
e.     Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus), populasinya mengalami penurunan drastis akibat dari ancaman perburuan ilegal dan menyempitnya habitat. Kerabat dekatnya yaitu  Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis), endemik di Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur dan Negara Bagian Sabah bagian Timur, sangat langka dan terancam oleh kepunahan. Habitatnya hampir habis untuk keperluan perkebunan, pemukiman dan penggunaan lainnya.
f.      Orangutan (Pongo pygmaeus), penyebarannya di Sumatra dan Kalimantan, populasinya menurun drastis, tergolong satwa yang sangat terancam, karena tekanan perburuan ilegal untuk memenuhi perdagangan gelap, habitatnya yang semakin berkurang untuk kepentingan berbagai macam kegiatan pembangunan dan bahaya kebakaran hutan;
g.     Burung Jalak Bali atau Curik (Leucapsar rothschildi), endemik di Bali Barat (Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya) tergolong burung yang paling langka di dunia. Populasinya di alam menurun sangat drastic akibat gencarnya perburuan untuk perdagangan ilegal secara internasional di masa lalu dan semakin menyempitnya habitat. Dalam rangka mengembalikan atau memulihkan populasi Curik di habitatnya, telah dilakukan penangkaran secara ex situ ( di luar habitatnya) dan in situ (di dalam habitatnya). Masih banyak lagi jenis-jenis lainnya yang terancam dan memerlukan tindakan konservasi.
2.3 Beberapa jenis TSL yang mengalami tekanan pemanfaatan dan menunjukkan  
      kecenderungan penurunan populasi
a.      Mamalia: Beruang (Helarctos malayanus), Landak (Hystric sp) dan beruk, dll diburu dan dicari batu empedunya karena bernilai ekonomi tinggi;
b.     Reptilia: Sanca Bulan (Morelia boelini) endemik di wilayah pegunungan Jayawijaya (Papua) diburu karena permintaan pasar internasional yang tinggi,  Ular sawah (Phython reticulatus), dll diburu karena kulitnya bernilai ekonomi;
c.      Burung: Berbagai jenis Elang, terutama Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Cucak Rawa, Beo, Gelatik , Bondol, Kakatua Sumba (Cacatua citrinocristata), Kakatua kecil (Cacatua sulphurea), dll diburu untuk koleksi dan kesenangan semata;
d.     Ikan: Arwana atau Kayangan atau Ikan Naga (Scleropages formosus), diburu karena bernilai ekonomi tinggi untuk memenuhi mitos dan kepercayaan orang tertentu. Walaupun berhasil dalam penangkaran namun populasi di alam benar-benar terancam;
e.     Tumbuhan: Gaharu (Aquilaria malacensis) di Sumatra dan Kalimantan sudah jarang di alam karena pemanenan yang luar biasa, Cendana (Santalum album), Ramin (Gonystylus sp), dll.
2.4 Lingkup Kegiatan Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar
a.  Tujuan dari Konservasi Sumber daya Alam Hayati adalah menjaga agar tidak terjadi
      kepunahan dan kerusakan, mengupayakan agar berbagai variasi gen dan jenis dapat
    dimanfaatkan serta mengupayakan agar penggunaan SDA hayati berdasarkan prinsip
    prinsip konservasi.
b. Keanekaragaman hayati adalah derajat keanekaragaman SDA hayati yang meliputi
    jumlah maupun frekuensi dari ekosistem, spesies maupun gen dalam suatu tempat
    tertentu.
c. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk :
  1. menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dan bahaya kepunahan
  2. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
  3. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.
d. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya:
  1. penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
  2. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
  3. pemeliharaan dan pengembangbiakan.
Tindakan yang harus dilakukan dalam pengelolaan dan pengawetan keanekaragaman hayati yang secara umum dapat dikelompokkan dalam konservasi insitu, konservasi eksitu, restorasi dan rehabilitasi, pengelolaan lansekap terpadu, serta formulasi kebijakan dan kelembagaan.
Konservasi insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut.
Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies tanaman, satwa liar dan organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum dilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1) habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan lingkungan.
Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk membangun kembali spesies, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis. Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi spesies asli, sedangkan rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS), tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan spesies asli.
Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur perlindungan, pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan. Mengingat bahwa tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan bentuk lansekap, baik di pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati memiliki peluang besar untuk dapat diperoleh.
Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; pengaturan kepemilikan lahan yang mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta dan masyarakat yang menguntungkan bagi keanekaragaman hayati.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh yaitu : Keanekaragaman hayati sebagai spesies kehidupan di bumi, sangat penting untuk kelangsungan sistem jejaring kehidupan yang menyediakan kesehatan, kemakmuran, pangan, energi dan jasa yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Untuk menekan laju penurunan kualitas kehidupan, maka upaya konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) perlu dilakukan secara serius oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang paling ideal dilakukan di dalam habitatnya (konservasi in situ) melalui kegiatan pengelolaan populasi dan pengelolaan habitat sehingga dihasilkan keseimbangan antara populasl dan habitatnya.











 
DAFTAR PUSTAKA
http://sperktrumdunia.blogspot.com/2010/03/pengawetan hayati.html diakses tanggal 11- 05- 2012.
http://www.attayaya.net/2010/11/ketentuan-hukum-tentang-konservasi.html.diakses tanggal
11- 05- 2012.
http://afand.cybermq.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakan-lingkungan-pengertian-kerusakan-lingkungan-dan-pelestarian diakses tanggal 11- 05- 2012.
http:// Nurudin Mansur.com/Pendekatan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati diakses tanggal 11- 05- 2012.