MAKALAH
PENGELOLAAN
MARGASATWA
( PENGAWETAN TUMBUHAN dan SATWA LIAR )
Oleh
DEDY
HERMANTO
F1A010205
FAKULTAS
KEHUTANAN
UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2012
DAFTAR
ISI
Halaman
DAFTAR
ISI................................................................................................... i
I. PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1 LatarBelakang.........................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 2
II.
PEMBAHASAN........................................................................................
2.1 Pengertian Pengawetan............................................................................ 3
2.2 Beberapa jenis TSL yang sudah punah
dan terancam punah...................... 4
2.3 Beberapa jenis TSL tekanan
pemanfaatan................................................ 6
2.2 Lingkup Kegiatan Pengawetan Tumbuhan
dan Satwa Liar........................ 6
III. PENUTUP ........................................................................................... 9
Kesimpulan..............................................................................................
9
Daftar Pustaka……….............................................................................. 10
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keanekaragaman hayati sebagai spesies
kehidupan di bumi, sangat penting untuk kelangsungan sistem jejaring kehidupan
yang menyediakan kesehatan, kemakmuran, pangan, energi dan jasa yang sangat
vital bagi kehidupan manusia. Untuk menekan laju penurunan kualitas kehidupan,
maka upaya konservasi
keanekaragaman hayati (biodiversity) perlu dilakukan secara
serius oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat.
Melalui informasi catatan fosil, sejak permulaan kehidupan,
disamping telah banyak berkembang spesies, juga banyak spesies yang punah.
Sekarang ini, spesies menjadi punah dengan laju yang lebih tinggi daripada
waktu sebelumnya dalam sejarah geologi. Manusia berkontribusi besar dalam
kepunahan ini. Pada masa geologi yang lalu, spesies yang punah akan digantikan
oleh spesies baru yang berkembang mengisi celah atau ruang yang ditinggalkan.
Pada saat sekarang, penggantian ini tidak akan mungkin terjadi karena banyak
habitat telah hilang.
Secara umum, kehilangan
keanekaragaman hayati juga berarti bahwa spesies yang memiliki potensi ekonomi
dan sosial hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan
kimia yang bermanfaat yang terdapat pada spesies liar hilang untuk
selamanya. Hutan hujan tropis yang memiliki kekayaan spesies yang mengandung
bahan kimia dan obat-obatan yang berguna, telah terdegradasi. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990,
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan dengan kegiatan:
(1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman
spesies tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara
lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam konteks ini, konservasi
keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan bagian tak terpisahkan dari
pengertian konservasi sumberdaya alam hayati.
Beberapa
metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang
secara umum dapat dikelompokkan dalam konservasi insitu, konservasi eksitu,
restorasi dan rehabilitasi, pengelolaan lansekap terpadu, serta formulasi
kebijakan dan kelembagaan. Konservasi insitu,
meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan habitat
dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan
kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
wisata alam, hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan
bergambut. Dalam implementasinya, pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan
satwa liar dan strategi perlindungan sumberdaya di luar kawasan lindung. Di
bidang kehutanan dan pertanian, pendekatan insitu juga digunakan untuk
melindungi keanekaragaman genetik tanaman di habitat aslinya serta penetapan
spesies dilindungi tanpa menspesifikasikan habitatnya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun perumusan
masalah yakni sebagai berikut :
a. Pengertian
pengawetan dalam konteks konservasi
keanekaragaman hayati?
b. Tumbuhan dan Satwa Liar yang punah maupun terancam punah?
c. Tujuan
pengawetan
jenis Tumbuhan dan Satwa Liar?
d. Lingkup Kegiatan Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa Liar?
e.
Cara
yang digunakan dalam pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pengawetan
Pengawetan dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati
diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan sedemikian rupa dengan tujuan agar
keanekaragaman hayati tidak punah atau musnah dari muka bumi. Karena sekali
suatu jenis mahluk hidup punah maka tidak akan pernah bisa diciptakan kembali dan
tergantikan oleh mahluk lainnya di bumi. Pengawetan juga dapat
diartikan upaya
untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah. Dengan mengawetkan
jenis-jenis tumbuhan dan satwa, maka populasi jenis tumbuhan dan satwa dapat
meningkat dan mencapai tingkat yang secara dinamik mantap. Karena suatu jenis
tumbuhan maupun satwa merupakan bagian dan ekosistem, maka kemantapan populasi
jenis tersebut dapat menjamin keseimbangan dan kemantapan ekosistem.
Untuk mencegah agar TSL (Tumbuhan dan
satwa liar ) tidak
punah dan pada suatu saat dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat, maka TSL yang pepulasinya sangat jarang, langka, dan terancam oleh
bahaya kepunahan , memperoleh perlindungan hukum dari negara (dilindungi Undang
Undang No 5 tahun 1990 beserta Peraturan Pemerintah berikut turunannya) dan
bahkan dilindungi secara internasional, antara lain melalui Konvensi
Perdagangan Internasional Jenis-jenis TSL yang terancam (Convention on
International Trade in Endangered species of wild fauna and flora disingkat
CITES) dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity
atau CBD).
Lebih dari 525 jenis TSL ditetapkan
sebagai jenis-jenis yang berstatus dilindungi di Indonesia. Terhadap jenis yang
dilindungi dilarang untuk dimanfaatkan. Kecuali hasil dari kegiatan penangkaran
atau pengembangbiakan. Status perlindungan jenis TSL sewaktu-waktu bisa dicabut
apabila kedaan populasi jenis TSL dimaksud sudah pulih kembali dan terhindar
dari ancaman kepunahan. Mengapa TSL bisa punah? Kepunahan
TSL dapat terjadi akibat berbagai macam sebab. Misalnya bencana alam,
perbuatan manusia (misalnya perburuan tanpa memperhatikan kaedah konservasi
baik untuk kepentingan konsumsi maupun untuk diperdagangkan), rusaknya atau
hilangnya habitat, ketidak mampuan TSL untuk berkembang biak, dsb. Tindakan
konservasi yangg berkelanjutan
diperlukan guna mencegah agar jenis-jenis TSL
tidak punah dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Selain itu,
pembinaan habitat yang menjadi tempat tinggal dan kehidupan TSL juga memegang
peranan penting. Karena kerusakan habitat dapat memicu percepatan kepunahan
suatu jenis TSL. Pembinaan habitat dapat dilakukan dengan pengayaan jenis
pemulihan (restorasi), dan bahkan penjarangan. tergantung dari tujuannya.
2.2 Beberapa
jenis TSL yang sudah punah dan terancam punah.
a. Harimau Bali (Panthera tigris balica), endemik di
Pulau Bali (Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya), sudah punah sejak tahun
1940-an akibat dari tekanan perburuan dan semakin menyempitnya habitat untuk
berbagai kepentingan pembangunan;
b. Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), endemik di
Pulau jawa (Taman Nasional Meru Betiri dan sekitarnya), sudah dinyatakan punah
sejak tahun 1980-an, akibat dari perburuan dan menyempitnya habitat untuk
berbagai kepentingan pembangunan;
c. Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), tergolong
jenis yang terancam oleh kepunahan (endangered species), karena
pupulasinya menurun secara tajam akibat dari tekanan perburuan secara illegal
untuk perdagangan gelap dan semakin berkurangnya habitat untuk berbagai
kepentingan pembangunan;
d. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), endemik di Jawa
Barat (Taman Nasional Ujung Kulon dan sekitarnya) tergolong satwa liar yang
sangat terancam. Perburuan illegal menjadi ancaman utama kelestarian satwa
langka ini. Sepupunya di Sumatra yaitu Badak Sumatra (Dicerorhinus
sumatrensis) juga dalam keadaan terancam karena semakin berkurangnya
habitat dan tekanan perburuan ilegal.
e. Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus),
populasinya mengalami penurunan drastis akibat dari ancaman perburuan ilegal
dan menyempitnya habitat. Kerabat dekatnya yaitu Gajah Kalimantan (Elephas
maximus borneensis), endemik di Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan,
Kalimantan Timur dan Negara Bagian Sabah bagian Timur, sangat langka dan
terancam oleh kepunahan. Habitatnya hampir habis untuk keperluan perkebunan,
pemukiman dan penggunaan lainnya.
f. Orangutan (Pongo pygmaeus),
penyebarannya di Sumatra dan Kalimantan, populasinya menurun drastis, tergolong
satwa yang sangat terancam, karena tekanan perburuan ilegal untuk memenuhi
perdagangan gelap, habitatnya yang semakin berkurang untuk kepentingan berbagai
macam kegiatan pembangunan dan bahaya kebakaran hutan;
g. Burung Jalak Bali atau Curik (Leucapsar rothschildi),
endemik di Bali Barat (Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya) tergolong
burung yang paling langka di dunia. Populasinya di alam menurun sangat drastic
akibat gencarnya perburuan untuk perdagangan ilegal secara internasional di
masa lalu dan semakin menyempitnya habitat. Dalam rangka mengembalikan atau
memulihkan populasi Curik di habitatnya, telah dilakukan penangkaran secara ex
situ ( di luar habitatnya) dan in situ (di dalam habitatnya). Masih
banyak lagi jenis-jenis lainnya yang terancam dan memerlukan tindakan
konservasi.
2.3 Beberapa
jenis TSL yang mengalami tekanan pemanfaatan dan menunjukkan
kecenderungan penurunan populasi
a. Mamalia: Beruang (Helarctos
malayanus), Landak (Hystric sp) dan beruk, dll diburu dan dicari
batu empedunya karena bernilai ekonomi tinggi;
b. Reptilia: Sanca Bulan (Morelia boelini) endemik di
wilayah pegunungan Jayawijaya (Papua) diburu karena permintaan pasar
internasional yang tinggi, Ular sawah (Phython reticulatus), dll
diburu karena kulitnya bernilai ekonomi;
c. Burung: Berbagai jenis Elang,
terutama Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Cucak Rawa, Beo, Gelatik ,
Bondol, Kakatua Sumba (Cacatua citrinocristata), Kakatua kecil (Cacatua
sulphurea), dll diburu untuk koleksi dan kesenangan semata;
d. Ikan: Arwana atau Kayangan atau Ikan Naga (Scleropages
formosus), diburu karena bernilai ekonomi tinggi untuk memenuhi mitos dan
kepercayaan orang tertentu. Walaupun berhasil dalam penangkaran namun populasi
di alam benar-benar terancam;
e. Tumbuhan: Gaharu (Aquilaria malacensis) di Sumatra
dan Kalimantan sudah jarang di alam karena pemanenan yang luar biasa, Cendana (Santalum
album), Ramin (Gonystylus sp), dll.
2.4 Lingkup
Kegiatan Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa Liar
a. Tujuan dari Konservasi Sumber daya Alam Hayati
adalah menjaga agar tidak terjadi
kepunahan dan kerusakan,
mengupayakan agar berbagai variasi gen dan jenis dapat
dimanfaatkan serta mengupayakan agar
penggunaan SDA hayati berdasarkan prinsip
prinsip konservasi.
b.
Keanekaragaman hayati adalah derajat keanekaragaman SDA hayati yang meliputi
jumlah maupun frekuensi dari
ekosistem, spesies maupun gen dalam suatu tempat
tertentu.
c. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa
bertujuan untuk :
- menghindarkan
jenis tumbuhan dan satwa dan bahaya kepunahan
- menjaga
kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
- memelihara
keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada agar dapat dimanfaatkan bagi
kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.
d. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya:
- penetapan
dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
- pengelolaan
jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
- pemeliharaan
dan pengembangbiakan.
Tindakan yang harus dilakukan dalam pengelolaan dan pengawetan keanekaragaman hayati
yang secara umum dapat dikelompokkan dalam konservasi insitu, konservasi
eksitu, restorasi dan rehabilitasi, pengelolaan lansekap terpadu, serta
formulasi kebijakan dan kelembagaan.
Konservasi insitu,
meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan habitat
dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan
kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
wisata alam, hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan
bergambut.
Konservasi Eksitu,
meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies tanaman, satwa liar dan
organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya.
Kegiatan yang umum dilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau
pengklonan karena alasan: (1) habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2)
materi tersebut dapat digunakan untuk penelitian, percobaan, pengembangan
produk baru atau pendidikan lingkungan.
Restorasi dan Rehabilitasi,
meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk membangun kembali spesies,
varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis.
Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau
semi alami di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi
spesies asli, sedangkan rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki
proses-proses ekosistem, misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS), tetapi tidak
diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan spesies asli.
Pengelolaan Lansekap
Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan,
pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur
perlindungan, pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan
praktek pengelolaan. Mengingat bahwa tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan
bentuk lansekap, baik di pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk
pengelolaan keanekaragaman hayati memiliki peluang besar untuk dapat diperoleh.
Formulasi Kebijakan dan
Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi penggunaan sumberdaya lahan
melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan
lahan yang secara potensial dapat merusak; pengaturan kepemilikan lahan yang
mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan
kepentingan swasta dan masyarakat yang menguntungkan bagi keanekaragaman
hayati.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh yaitu : Keanekaragaman
hayati sebagai spesies kehidupan di bumi, sangat penting untuk kelangsungan
sistem jejaring kehidupan yang menyediakan kesehatan, kemakmuran, pangan,
energi dan jasa yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Untuk menekan laju
penurunan kualitas kehidupan, maka upaya konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) perlu dilakukan
secara serius oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang
paling ideal dilakukan di dalam habitatnya (konservasi in situ) melalui
kegiatan pengelolaan populasi dan pengelolaan habitat sehingga dihasilkan
keseimbangan antara populasl dan habitatnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://
Nurudin Mansur.com/Pendekatan
Pengelolaan Keanekaragaman Hayati diakses tanggal 11- 05- 2012.