Kehutanan
merupakan salah satu sektor penting dan mempunyai nilai strategis bagi
pembangunan nasional mengingat hampir ± 67% luas daratan Indonesia berupa
hutan. Sampai dengan tahun 2004, dari total luas kawasan hutan Indonesia yang
mencapai ± 120,35 juta ha telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan seluas 109,96
juta ha (± 91%).
Kawasan
hutan tersebut meliputi hutan konservasi seluas 23,24 juta ha, hutan lindung
seluas 29,10 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 16,21 juta ha, hutan
produksi seluas 27,74 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas
13,67 juta ha (Baplan - Departemen Kehutanan, 2004). Posisi sektor kehutanan
yang demikian strategis, memberikan harapan yang besar bahwa penyelenggaraan
pembangunan sektor kehutanan akan mampu memberikan sumbang sih secara nyata
bagi upaya bagi peningkatan taraf hidup masyarakat yang notabene merupakan
cita-cita pembangunan nasional itu sendiri.
Pengelolaan sumber daya hutan di
Indonesia dalam rentetan perjalanan waktu yang sangat panjang mulai dari sistem
pengelolaan hutan pada era kolonial, rezim orde lama, rezim orde baru, sampai
pada era pemerintahan reformasi telah mengalami perubahan-perubahan.
Masing-masing tahap pemerintahan mempunyai perspektif yang berbeda terhadap
pengelolaan sumber daya hutan. Namun demikian, secara normatif tujuan utama
pengelolaan sumber daya hutan pada setiap periode mempunyai benang merah yang
sama yaitu untuk memanfaatkan seoptimal mungkin fungsi hutan. Sumber daya hutan
sebagaimana dipahami bersama mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi ekonomi,
ekologi dan sosial budaya.
Aspek
Fungsi
|
Nilai
Kemanfaatan
|
Ekonomi
|
SDH
diharapkan memberikan sokongan bagi pendapatan devisa negara dan sumber
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam
kawasan hutan.
|
Ekologis
|
SDH
diharapkan menopang penciptaan kestabilan alam (enabling condition) sehingga
hutan bisa dinikmati oleh generasi yang akan datang.
|
Sosial
Budaya
|
SDH
diharapkan menampumg tenaga kerja masyarakat dalam sistem pengelolaan sumber
daya hutan yang mengedepankan aspek keadilan, kesejahteraan dan
keberlanjutan.
|
Ketentuan
normatif sistem pengelolaan hutan (fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya)
dalam prakteknya di lapangan mengalami banyak kendala. Pengelolaan sumber daya
hutan cenderung lebih kental untuk mengedepankan pada aspek kepentingan
ekonomisnya semata. Hutan dieksploitasi untuk memberikan sokongan pada
devisa negara tanpa memeprtimbangkan aspek kesejahteraan masyarakat di sekitar
hutan dan kelestarian sumber daya hutan itu sendiri. Akibatnya terjadi konflik
antar pelaku-pelaku pembangunan baik yang melibatkan masyarakat desa hutan
dengan pemerintah, maupun pengusaha hutan yang memiliki wilayah konsesi yang
berdampingan dengan wilayah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.
Melihat
kondisi yang demikian, maka pemerintah selaku elemen terbesar yang bertanggung
jawab atas penyelenggaraan kegiatan pembangunan, telah merumuskan garis pijakan
yang jelas bagi setiap pengelolaan SDA termasuk pengelolaan sumber daya hutan
(SDH) yakni dengan mengeluarkan Undan-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya. Sesuai UU No. 5 Tahun 1990
tersebut, maka setiap pengelolaan SDA termasuk pengelolaan sumberdaya
hutan harus meperhatikan tiga aspek sistemik : pertama, terselenggaranya
pengawetan plasma nutfah, flora dan fauna dan ekosistem unik, keduaketiga
tercapainya pelestarian pemanfataan SDA secara lintas generasi. Bagi sektor
kehutanan, maka kelahiran UU No. 5 tahun 1990 sekaligus merupakan tonggak baru
pelaksanaan pengelolaan hutan secara lestari. terjaminnya pelestarian
perlindungan terhadap sistem ekologi penyanga kehidupan, serta
Dinamika
pembangunan sektor kehutanan pun selanjutnya makin menemukan bentuknya dengan
dikeluarkannya Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Terlepas dari
kekurangan yang masih ada [2],
didalam UU Kehutanan No. 41/1999 secara tegas dinyatakan bahwa “Penyelenggaraan
kehutanan berasaskan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan,
kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan (pasal 2).” Selanjutnya dinyatakan
juga bahwa “Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan berkelanjutan” (pasal 3). Dari dua pasal tersebut maka
kelahiran UU 41/1999 telah mempertegas sistem pengelolaan hutan lestari (PHL)
dan menggeser manajemen pengelelolaan hutan dari timber management ke arah
ecological and social base forest management. Melalui PHL maka seluruh
pengelolaan hutan baik hutan produksi (HP), hutan konservasi (HK) dan hutan
lindung (HL) harus memperhatikan kelestarian fungsi produksi, kelestarian
fungsi ekologi, dan kelestarian fungsi sosial.
Menurut
Ngadiono (2004), ada dua perubahan penting dan mendasar yang diusung
sektor pembangunan kehutanan di era reformasi: pertama, komoditas
kehutanan bukan lagi dipahami sekedar sebagai kayu (logs), tetapi multi
komoditas yang meliputi perdagangan carbon (carbon trade), keanekaragaman
hayati, eko wisata dan sumber daya air. Kedua, kehutanan bukan lagi sekedar
mengejar perolehan devisa tetapi diarahkan sebesar-besarnya demi kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
II.
Pemahaman Kesejahteraan Masyarakat
Isu
kemiskinan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan nasional (disparitas)
hampir selalu ada pada setiap bahasan mengenai pembangunan nasional, tak
terkecuali terjadi juga di sektor kehutanan. Sebagaimana telah disinggung
diawal, pada tahun 1960-an sampai awal 70-an, pemanfaatan hutan dimaksudkan
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Strategi yang dipakai yaitu pegusahaan
hutan secara besar-besaran untuk menopang industri. Selain hutan tanaman jati
di Jawa yang telah diusahakan sejak zaman kolonial Belanda, hutan alam topika
di luar Jawa mulai dibuka, sehingga produksi kayu dan industri hasil hutan
tumbuh pesat pada tahun 1970-an dan perolehan devisa dari sektor kehutanan
merupakan yang tertingi setelah minyak bumi. Meskipun demikian, masalah
kerusakan hutan yang berkembang seiring dengan ekslpoitasi hutan. Hal
yang tidak berubah adalah tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan.
Bahkan mungkin secara riil tingkat kesejahteraan mereka menurun.
Menurut
Sumdiningrat (1998), kemiskinan dapat dibedakan menjadi 5 jenis, yaitu 2
jenis kemiskinan berdasarkan tingkat pendapatannya masing-masing kemiskinan
absolut dan relatif, serta 3 jenis kemiskinan berdasarkan penyebabnya,
masing-masing kesenjangan dan kemiskinan natural, kultural dan sruktural.
Kemiskinan
|
Ukuran
|
Absolut
|
|
Relatif
|
|
Natural
|
|
Kultural
|
|
Stuktural
|
|
III.
Optimalisasi SDH untuk Kesejahteraan Masyarakat
Pandangan
tentang pentingnya peranan sektor kehutanan dalam pengentasan kemiskinan telah
dipahami oleh berbagai pihak. Bahkan pada Konggres Kehutanan Sedunia (World
Forestry Congres) tahun 1978 yang diselenggarakan di Jakarta mengedepankan tema
pokok “forest for people”. Tema ini menjadi katalisator yang penting
dalam mengarahkan kebijakan kehutanan yang berorientasi pada partisipasi
masyarakat, kesadaran lingkungan dan pembangunan pedesaan dalam rangka
pengentasan kemiskinan.
Menurut
Prakoso (1996), paling tidak ada tiga asumsi dasar yang mendorong ke arah
perubahan kebijakan kehutanan yang lebih memperhatikan rural community dan
rural development :
- Sektor kehutanan harus lebih menekankan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan di sekitar hutan, yang kehidupannya tergantung pada interaksinya dengan hutan dan tanah hutan.
- Sektor kehutanan dan para rimbawan harus mengintegrasikan dengan sektor pertanian dan sektor-sektor lain, dan perlunya faktor-faktor di luar sektor kehutanan menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan kehutanan,
- Dukungan dan partisipasi oleh masyarakat sekitar hutan pada program kehutanan merupakan faktor yang menentukan dalam keberhasilan program-program tersenut.