Indonesia terus mendesak maju dengan
rencananya mengenai REDD, Bank Dunia dan pihak-pihak lain membuat perjanjian
yang tidak dipersiapkan dengan baik mengenai pendanaan proyek di Indonesia.
Bahkan Bank Dunia tampaknya tak menghiraukan kebijakannya sendiri tentang
pengadaan konsultasi dengan masyarakat penghuni hutan dan perlindungan bagi
kepentingan mereka. Bank Dunia menempatkan dirinya menjadi salah satu
penyandang dana utama REDD (Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
Hutan di Negara-Negara Berkembang), melalui Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan
(FCPF) dan Program Investasi Hutan (FIP). Indonesia menyerahkan Rancangan
'Proposal Perencanaan Kesiapan' (R-PP) kepada FCPF pada bulan Mei, yang segera
mengundang badai kecaman dari organisasi masyarakat madani di dalam maupun di
luar negeri serta seruan untuk menunda persetujuan atas rencana itu hingga
kelemahannya yang menonjol diperbaiki. Ini mencakup:
- Kurangnya konsultasi dengan pemangku kepentingan utama, seperti masyarakat adat, kurangnya akses akan informasi, termasuk hampir tak adanya informasi dalam bahasa Indonesia;
- Kegagalan untuk membahas tentang kerangka kerja hukum nasional yang kurang memadai dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan kegagalan untuk mengemukakan perihal hak-hak ini dalam R-PP itu sendiri;
- Kurangnya perhatian atas isu tata kelolanya , dan potensi korupsi dalam pelaksanaan proyek REDD, khususnya karena kurangnya kejelasan seputar status 'forest land' yang diklaim oleh negara, dan klaim peruntukan lahan yang tumpang tindih dari sektor lain seperti perkebunan dan pertambangan;
- Konsentrasi 'kepemilikan' REDD dalam departemen kehutanan, yang mengarah pada risiko bahwa legislasi yang bertentangan, mengenai perkebunan dan lahan gambut misalnya, akan terus mendorong deforestasi.
LSM di Indonesia, Inggris, A.S. dan Norwegia juga
telah menulis kepada pemerintah mereka, menyerukan perbaikan dalam proses
persetujuan FCPF sebelum R-PP Indonesia diloloskan. Mereka menyoroti
kekhawatiran termasuk kecenderungan untuk membuat keputusan tanpa referensi
standar perlindungan Bank Dunia dan standar internasional, meskipun terdapat
kebutuhan agar hal ini dijabarkan dalam Piagam FCPF. Misalnya, piagam ini
mensyaratkan bahwa kegiatan itu, termasuk R-PPP
"mematuhi Kebijakan dan
Prosedur Operasional Bank Dunia, mengingat kebutuhan akan partisipasi efektif
Masyarakat Adat yang Tergantung pada Hutan dan Para Penghuni Hutan dalam
keputusan yang dapat memengaruhi mereka, menghormati hak-hak mereka sesuai
dengan undang-undang nasional dan kewajiban internasional yang dapat
diterapkan." (Prinsip 3.1(d), Piagam FCPF).
Perlindungan utama Bank Dunia untuk REDD adalah OP4.10
mengenai Masyarakat Adat, OP4.36 mengenai Hutan dan OP4.12 mengenai Pemukiman
Kembali Tidak dengan Suka Rela. Kewajiban Internasional yang Relevan termasuk
Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat, juga instrumen internasional
lainnya mengenai HAM dan lingkungan hidup. R-PP Indonesia dipertimbangkan oleh Komite
Peserta FCPF, tetapi keputusan untuk menerima atau tidak proposal itu ditunda
hingga bulan Juli. Menerimanya berarti memberi Indonesia akses akan USD3,6 juta
dalam pendanaan FCPF menuju kegiatan 'kesiapan'. Pertemuan Komite Peserta
berikutnya akan berlangsung pada bulan Oktober dan LSM-LSM telah menyerukan
agar setiap keputusan mengenai R-PP Indonesia ditunda paling tidak hingga
berlangsungnya pertemuan itu. Mereka berargumentasi bahwa penentuan standar
yang rendah bagi persetujuan akan rencana awal yang tengah dipertimbangkan
(termasuk rencana Indonesia) akan memberi pertanda bagi negara lain bahwa
mereka akan dapat menyerahkan Rencana Kesiapan yang di bawah standar pada masa
mendatang. Tanpa perlindungan yang memadai bagi penghuni hutan, sangat kecil
kemungkinannya REDD akan dapat mencapai hasil yang positif dalam hal
pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi, karena pengingkaran akan hak
diakui secara luas sebagai penyebab utama deforestasi itu sendiri. Menurut saya kebijakan dan kegiatan pengelolaan hutan di
Indonesia dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh hasil-hasil pertemuan
internasional atau ide dari lembaga-lembaga donor, misalnya dikembangkannya sertifikasi
hutan, perhutanan sosial, program kehutanan multipihak, konservasi hutan yang bernilai
tinggi, pemberantasan illegal logging, sertifikasi legalitas kayu, serta
pengurangan emisi gas rumah kaca dari pengurangan kegiatan deforestasi dan
degradasi hutan (REDD). Berbagai inisiatif tersebut seolah-olah telah menjadi
arus utama pembangunan kehutanan selama ini. Ide-ide pembaruan lainnya,
terutama yang digagas oleh pemerintah dan konstituen lokalnya, tidak pernah
menjadi percaturan pembicaraan kehutanan secara nasional, misalnya pengembangan
silvikultur intensif, hutan tanaman untuk rakyat, maupun pembangunan organisasi
pengelolaan hutan (KPH) di tingkat tapak/lapangan. Termasuk gagasan mengenai
penyelesaian masalah-masalah hak dan akses atas kawasan hutan negara, tidak
pernah menjadi prioritas nyata dalam pembangunan kehutanan. Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa fakta kehutanan yang sama, difahami
dengan cara yang berbeda-beda dan kemudian dicari masalah dan ditetapkan cara
menyelesaikan masalahnya. Maka setiap orang atau lembaga memberi gagasan yang
berbeda-beda atas masalah yang berbeda-beda pula. Kemudian mereka mengusung
gagasannya itu melalui berbagai jaringan internasional dan nasional untuk
mendapat legitimasi.
Dengan lambatnya penyelesaian persoalan-persoalan
kehutanan yang ditunjukkan oleh rendahnya pelaksanaan ide-ide di atas hingga
saat ini kemungkinan yang terjadi bahwa program yang sudah tepat tidak mendapat
sumberdaya cukup untuk dijalankan dan dikembangkan, sedangkan program yang
tidak tepat mendapat dukungan secara memadai. Alasan lainnya, seluruh program
di atas berupa potongan tertentu, sedangkan potongan lainnya tidak mendapat
sentuhan apa-apa. Misalnya setelah unit usaha kehutanan, tidak juga ada program
untuk memperbaiki kinerjanya, ketika diketahui perolehan nilainya buruk. Berdasarkan
kenyataan seperti itu, memahami fakta kehutanan tidaklah semudah seperti yang
diucapkan oleh banyak orang: baik para birokrat, pelaku ekonomi kehutanan, juga
para akademisi dan LSM, termasuk ahli-ahli asing yang banyak berdatangan ke
Indonesia. Pada umumnya kehutanan dibaca secara parsial kemudian dari situ
dikenali sebab akibat yang kemudian menjadi dasar asumsi mengenai kehutanan,
ditelusuri masalah yang kemungkinan itu hanya sebagai anggapan tentang masalah
atau bukan masalah yang sebenarnya kemudian ditentukan program dan kegiatan
untuk menyelesaikan masalah itu. Seperti menjawab pertanyaan yang keliru.
Nampak berakhir pada suatu solusi bahwa ide itu tidak
dapat memenuhi harapan untuk memperbaiki sistem kehutanan secara mendasar. Ia
akan berguna pada konteks dan situasi tertentu, sebagaimana pelaksanaan
sertifikasi unit usaha kehutanan, pemberantasan illegal logging dan lain-lain
seperti disebutkan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar